29 April, 2009

Kecam Polri Tak Terima Pengaduan Korban DPT, SMK2DPT Lapor ke Komnas HAM

Jakarta - Solidaritas Masyarakat Korban Kisruh Daftar Pemilih Tetap (SMK2DPT) mengecam keras sikap kepolisian yang menolak laporan warga negara yang kehilangan hak pilih dalam Pemilu 2009. Karenanya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) diminta mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk memerintahkan polisi menerima laporan masyarakat tersebut.

"Penolakan Mabes Polri atas pengaduan masyarakat ini bertentangan dengan pernyataan Presiden SBY yang berkali-kali menegaskan agar semua pihak yang keberatan dengan hasil pemilu termasuk DPT menggunakan jalur hukum sebagai mekanisme penyelesaian," kata juru bicara SMK2DPT, Hendrik Sirait, yang juga menjabat Direktur PBHI Jakarta ini dalam pertemuannya dengan Komisioner Komnas HAM, Jhonny Nelson Simanjuntak, di kantor Komnas HAM, Jl Latuharhary, Menteng, Jakarta, Selasa (28/4/2009).

Sayangnya, lanjut Hendrik, pernyataan Presiden SBY faktanya berbeda di lapangan. Aparat hukum justru menutup ruang bagi warga negara yang mencoba menggunakan jalur hukum untuk menyelesaikan kasus yang dialaminya, khususnya yang tidak masuk DPT.

Sebelumnya, Mabes Polri juga menolak laporan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terkait surat edaran yang diterbitkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 9 April 2009 melalui suratnya bernomor 676/KPU IV/2009 tentang permasalahan pemungutan dan penghitungan suara dan pengiriman fax ke Bawaslu pada 11 April 2009 berupa surat No 684/KPU/IV/2009 menegaskan kembali surat pertama.

Sementara, terang Hendrik, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan kisruh DPT tidak bisa di bawa ke pengadilan konstitusi, karena bukan ranah sengketa pemilu. Begitu pula dengan pernyataan Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Abdul Hakim Ritonga bahwa warga yang tidak tercantum dalam DPT tidak bisa mempersoalkan sebagai pelanggaran pidana pemilu.

"Koor dari para pejabat hukum ini seolah-olah menutup ruang bagi masyarakat dengan hilangnya hak pilih mereka pada pemilu legislatif lalu. Ini tentu membingungkan masyarakat," jelasnya.

Ditambahkan Hendrik, menjadi pertanyaan adalah jika polisi, jaksa dan hakim MK menolak proses hukum warga negara yang kehilanga hak pilihnya itu, ke mana lagi dan jalur apa yang bisa ditempuh masyarakat?

"Lebih jauh penolakan ini sulit dilepaskan dari kesan adanya diskriminasi perlakuan hukum bagi warga negara," tandasnya.

Hedrik menyatakan, ada kesan aparat hukum berlaku diskrimiatif bagi warga negara. Contohnya, dalam kasus Edhie Baskoro (Ibas) dimana aparat hukum dengan cepat dan tanggap menetapkan tersangka kasus pencemaran nama baik.

Perlakuan diskriminatif ini merupakan pelanggaran HAM, yaitu bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 26 dan UU Pemilu. Karenanya, SMK2DPT meminta Komnas HAM segera menyelidiki adanya dugaan pelanggaran HAM atas penolakan aparat hukum atas laporan itu.

( zal / irw )

No comments:

Post a Comment