30 April, 2009

Golkar Haus Kekuasaan, Hanya Survive 15 Tahun Lagi

GolkarImage via Wikipedia

Jakarta - Kader-kader Partai Golkar dinilai haus kekuasaan dan sejak dulu terlalu pragmatis dalam memandang politik. Politik tanpa menjadi penguasa dianggap nihil, sehingga dengan begitu, watak Golkar berikut kader-kadernya selalu ikut ke mana arah kekuasaan.

Pernyataan ini disampakan pengamat politik Universitas Sumatera Utara Ahmad Taufan Damanik menanggapi rencana-rencana koalisi Golkar dengan sejumlah partai pascapemilu. Gampangnya Golkar terpecah karena inisiatif berbeda kurang dihargai.

“Lihat saja, setiap kader yang gagal menjadi penguasa melalui Golkar, dan bila memiliki kemampuan, lantas mendirikan partai baru atau pindah ke partai lain. Hampir semua partai non-Golkar yang ada di Indonesia saat ini pasti ada orang mantan Golkar,” kata Taufan dalam surat elektroniknya kepada detikcom, Selasa (28/4/2009).

Session of the Indonesian People's Representat...Image via Wikipedia

Kader-kader Golkar, kata Taufan, tidak pernah dididik menjadi politisi sejati yang berupaya membangun karakter politik pejuang. Mereka umumnya hanya berorientasi pada kekuasaan. Bahkan kader muda kritis semacam Yuddy Chrisnandi pun belum apa-apa sudah sibuk mau jadi calon presiden (capres).

Seharusnya orang muda semacam Yuddy, menurut Taufan, melakukan upaya pengorganisasian ke bawah dan memperbanyak jasa-jasa politik dengan melakukan pembelaan nasib masyarakat. Tapi budaya politik perjuangan seperti itu tidak dikenal di Golkar karena kadernya lebih suka mendekati kekuasaan.

Saat ini, kata Taufan, tradisi politik yang haus kekuasaan ini kembali terlihat. Mulanya DPD I Golkar mendorong-dorong JK menjadi capres. Kondisi ini dinilai menggambarkan para pimpinan DPD I tidak bisa membaca arus bawah.

Jusuf Kalla, Vice-President of Indonesia.Image via Wikipedia


“Bagaimana mungkin mereka tidak tahu bahwa arus bawah justru sedang ramai-ramai meninggalkan Golkar dan beralih ke Demokrat? Kan tampak sekali mereka tidak punya akar ke bawah sehingga tidak tahu apa yang sedang menjadi tren aspirasi masyarakat,” tukas Taufan yang juga Ketua Yayasan Kelompok Kerja Sosial Perkotaan (KKSP).

Ketika suara anjlok karena salah hitung, Golkar menjadi gugup sebab ketakutan tak kebagian kekuasaan. Golkar mulai ganti porsneling mendekati PD dan SBY.

“Tapi ketika merasa diremehkan, ganti porsneling lagi mencapreskan JK. Sebagian elit, Golkar tentu nggak mau hancur bersama langkah JK. Mereka pun main akrobat politik mendekati SBY dan Demokrat tanpa JK. Ini semua karena watak haus kekuasaan yang terus dipelihara,” tukas Taufan.

Taufan memprediksi, Golkar akan menuju titik nadir dalam dua atau tiga pemilu lagi, alias 10-15 tahun. Partai ini hanya akan tinggal kenangan. Namun kondisi ini tidak mengkhawatirkan, sebab di banyak negara khususnya negara dunia ketiga, partai politik biasa hilang-tumbuh.

“Yang jadi masalah adalah karena para kadernya pindah ke berbagai partai lain dan membawa watak yang sama, maka realitas di Golkar ini akan pindah ke partai-partai lain,” ucap Taufan.

( rul / sho )
Reblog this post [with Zemanta]

No comments:

Post a Comment